Search This Blog

Fitur pada aplikasi Bridging SIMRS-INACBG

Fitur-fitur aplikasi briding SIMRS-INACBG, sangat bermanfaat untuk rumah sakit yang sudah memiliki SIMRS. Efisiensi waktu bisa sampai 60%. Simak bisa apa saja aplikasi Bridging disini.

Cara Memeriksa Bahwa Grouper Yang Terpasang Sudah Benar

Saya sudah melakukan perpanjangan grouper, mengapa masih sering muncul pesan Lisence Expired?. Benarkah grouper yang terpasang sudah merupakan versi terakhir? Begini cara memeriksanya.

Saturday, November 7, 2015

Penguatan Tenaga Koder Dalam Implementasi INACBG

Untuk meningkatkan kemampuan koder di Rumah Sakit pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan mengadakan Kegiatan penguatan tenaga koder dalam implementasi INACBG.

Acara ini di ikuti oleh rumah sakit tertntu dari hampir seluruh provinsi di Indonesia dimana masing-masing RS mengirimkan satu orang perwakilannya. Sayangnya tidak semua rumah sakit yang menjalankan program JKN di undang. Hal ini dapat dimaklumi mengingat jumlah RS yang saat ini berperan dalam program JKN cukup banyak. Untuk sementara RS yang di undang adalah RS yang mengumpulkan data kosting di tahun 2015.

Acara ini akan dilaksanakan di Bekasi, tepatnya di Hotel Harris Jl. Bulevar Ahmad Yani Sentra Summarecon, Bekasi, Jawa Barat. Kegiatan dilaksanakan selama lima (5) hari mulai hari senin, 16 Nopember 2015 sampai dengan Jum'at 20 Nopember 2015.

Dan yang paling menyenangkan adalah acara ini di selenggarakan secara gratis, alias tidak dipungut biaya.

Secara rinci undangan dapat dan daftar RS yang di undang dapat dilihat disini.

Selamat berkumpul teman-teman seindonesia, jangan lupa bawa oleh-oleh khas daerah masing-masing biar seru saat kopi darat...

Monday, November 2, 2015

Eksklusif: Terkuak, 40% dari Harga Obat Buat Menyuap Dokter

TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional Iwan Dwiparahasto mengatakan rata-rata perusahaan farmasi menghabiskan duit untuk mempromosikan obatnya sebesar 40 persen dari total biaya produksi.

Alih-alih untuk beriklan, biaya promosi merupakan uang komisi penulisan resep obat. “Itu untuk membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, bertanding golf, hingga membelikan mobil,” kata Iwan, yang juga guru besar farmakologi dari Universitas Gajah Mada, kepada Tempo, akhir September lalu.

Saat menelusuri penyebab mahalnya harga obat ini, tim investigasi Majalah Tempo memperoleh puluhan kuitansi yang dikeluarkan sebuah produsen obat saat memberikan uang kepada para dokter.

Ada juga puluhan file berformat Microsoft Excel yang berisi 2.125 nama dokter di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Surabaya, Jember, dan Makassar yang diduga menerima suap dari perusahaan itu.

Saat ini ada 205 perusahaan farmasi yang memperebutkan Rp 69 triliun ceruk pasar obat pada tahun ini. Angka itu setiap tahun meningkat. Pada 2000, misalnya, nilai bisnis obat hanya Rp 6 triliun.

Mereka bersaing dengan cara “mendekati” dokter. “Jika dokternya punya banyak pasien, berapa pun uang yang diminta dokter akan dipenuhi,” kata seorang mantan petinggi perusahaan farmasi yang kini tak lagi bekerja di dunia farmasi.

Pada salah satu kuitansi, misalnya, tercantum nama seorang dokter spesialis penyakit dalam yang berpraktek di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Perusahaan farmasi itu menghadiahi si dokter dengan perayaan tahun baru 2014 di Jepang. Di nota agen wisata, perjalanan tersebut bernilai US$ 15.690 atau senilai Rp 170 juta dengan kurs pada masa itu.

Ada lagi kuitansi pada Januari 2014 yang menyebutkan bahwa si dokter menerima Rp 200 juta. Kuitansi itu ia stempel dan ditandatangani. Lalu, pada Januari 2015, ia tercatat menerima Rp 500 juta. Sang dokter sempat membantah menerima uang itu, mengaku setelah ditunjukkan kuitansi pada 2014 tersebut. Menurut dia, itu bukanlah uang suap agar ia meresepkan produk perusahaan farmasi. “Itu uang komisi untuk apotek saya,” katanya, Kamis tiga pekan lalu, di kliniknya.

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin, mengakui masih ada dokter yang main mata dengan perusahaan. Padahal sanksi bagi dokter yang melakukan hal itu cukup berat, sampai pencabutan izin praktek. “Dalam etika kedokteran, dokter dibolehkan mendapat sponsorship berupa biaya transportasi, penginapan, dan makan untuk pendidikan berkelanjutan seperti seminar atau symposium,” ujarnya.

Sumber : Tempo